APAKAH SAYA HIDUP DI TEMPAT DAN WAKTU YANG SALAH?Rasanya baru kemarin saya mempelajari di buku-buku sejarah sekolah tentang jahat dan liciknya tentara Belanda dan Jepang ketika menjajah Indonesia. Rasanya baru kemarin saya diajarkan orang tua untuk sopan dan santun kepada siapa saja. Rasanya saya pernah mendengar bahwa Indonesia adalah negeri yang aman, cinta damai, dan orang-orangnya ramah serta suka menolong. Rasanya baru kemarin setiap pulang sekolah, saya dan teman-teman mencium tangan pak guru dan menyapa mereka ketika ketemu di mana saja, bahkan ketika kami sudah lulus sekolah. Tapi ketika saya memasuki wilayah ibukota dan sekitarnya, saya sampai tercengang. Inikah wajah asli orang-orang Indonesia? Di jalan-jalan, orang-orang seperti tidak pernah mendapat didikan dari orang tuanya. Bawa mobil seenaknya. Maki sana maki sini, pencet-pencet klakson seenak perutnya, merasa dirinya paling benar. Di setiap ujung gang berkumpul pemuda-pemuda tak jelas kerjanya, yang dengan mudah melayangkan bogemnya bila kita lupa menundukkan kepala ketika melewati wilayah kekuasaannya. Di Internet bertebaran orang-orang sinting yang seakan digaji untuk memaki-maki atas nama agama, padahal mereka tak pernah pergi ke tempat ibadah. Di jalan-jalan protokol, hampir selalu saya lihat mahasiswa berdemo secara anarkis. Menjebol pagar, melempari aparat, memaki-maki orang, menyebut orang yang lebih tua tanpa embel-embel Pak atau Bu, dan membuat macet. Demo bagi mereka sudah menjadi pekerjaan, atau setidaknya ekstra kurikuler favorit, sebab tak ada lagi lahan bagi mereka untuk ikut kegiatan olahraga sepakbola yang lapangannya digusur untuk disulap jadi mall, atau ikut pesta demo besar-besaran masa tumbangnya orde baru, karena saat itu para mahasiswa ini masih berseragam putih abu-abu. Di setiap perempatan jalan ada saja pak ogah yang lebih sering memunguti uang ke supir daripada mengatur lalulintas. Di pinggir jalan, setiap mobil saya selesai parkir, walau sebentar, selalu muncul tukang parkir liar yang tarifnya bisa lebih mahal dari parkir di mall. Gerombolan anak sekolah bergentayangan di bus-bus memalaki penumpang yang ketakutan. Nyawa tidak lagi berharga. Pembunuh hanya dihukum sekian tahun. Kata bapak-bapak kriminolog yang sok ke-Barat-Barat-an, "Hukuman berat tidak menyelesaikan masalah." Klise sekali. Padahal semua orang langsung pasang seatbelt karena ketakutan setengah mati didenda satu juta rupiah! Kita adalah bangsa yang harus dihukum agar bisa patuh. Bangsa yang harus ditaboki lebih dulu agar mengerti bagaimana sakitnya ditaboki. Tak heran nyawa dan kehormatan wanita tak lagi berharga. Anak-anak diperkosa bapaknya, gadis-gadis diperkosa para preman lalu dibunuh, bahkan orang yang tak tahu apa-apa bisa jadi mati konyol hanya karena salah sasaran atau diteriaki maling oleh maling. Para pemimpin saling sikut, mencontohkan tabiat buruk, padahal sepak terjang mereka ditonton seluruh orang Indonesia sampai ke pelosok-pelosok. Siapa lagi yang bisa dijadikan teladan? Ketika bapak SBY-JK dilantik, ibu Mega bukannya mengucapkan selamat sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang ksatria dan seorang negarawan, tapi sorenya malah bilang yang kira-kira begini, "Kita bukan kalah. Kita cuma kurang pendukung. Mari kita persiapkan diri untuk memenangkan pilpres 5 tahun ke depan." Ah... ibu Mega ternyata bukan presiden Indonesia, tapi presidennya orang-orang PDI Perjuangan. Indonesia sudah berubah banyak. Ataukah saya yang tidak bisa menyesuaikan diri? Bapak SBY-JK tidak mempunyai massa pendukung dan pelindung fanatik seperti ibu Mega. Artinya: Hari-hari ke depan akan lebih banyak demo. Sembako akan lebih mahal. Di TV, di radio, di koran, isinya akan lebih banyak maki-makian ketimbang cerita merdu, cerita damai, cerita si Bobo dan si Upik, atau cerita kepahlawanan yang heroik ketika saya dulu masih kecil. Anak-anakku: Jangan lupa kunci rapat-rapat pintu dan jendela mobil. Bangun pagar rumah tinggi-tinggi. Karena kita sekarang hidup di tempat yang rasanya bukan lagi bernama Indonesia. Jakarta, 21 Oktober 2004. |